Sampah visual kota

Ini adalah kisah tentang kepemimpinan dan komunitas visual yang perhatian terhadap kenyamanan visual kota, mereka menyebut diri mereka dengan nama komunitas reresik sampah visual kota dengan tokoh Sumbo Tinarbuko, pakar seni visual sekaligus budayawan dosen ISI lulusan ITB.

Sampah visual kota sebetulnya menurut saya sangat luas, hal-hal yang membuat kota terlihat jelek. bisa sampah bertumpuk, fasilitas kota yang sudah rusak, banyak orang gila dan gelandangan, etc. Tapi karena banyak hal itu, sudah ada yang mengurus masing-masing, maka Sumbo and the crew memfokuskan terlibat secara aktif pada bidang keahliannya yaitu seni dan desain grafis. Sampah visual adalah iklan-iklan ruang luar yang secara ilegal terpasang, serta baliho yang tidak menempati tempat yang pas. Baliho besar sebenarnya sudah diatur dalam Perda tentang pemasangan papan reklame, namun pada pelaksanaannya tidak terintegrasi dengan masterplan pemasangan dan aturan sebelumnya yang sudah ada, yang mengatur secara detil letak, ukuran, dan ketinggian papan reklame yang boleh terpasang sesuai lokasi masing-masing. Biasa.. program pemerintah yang menghabiskan dana untuk membuat masterplan, dokumen rencana dan kajian ini itu, namun GATOT dalam implementasinya. why? coz its our governments nature to be lazy and stupid, tinggalan jajahan londo campur feodalisme jawa. Tapi, gelombang kebaikan sedang bergulung.

Back to our topic, bekerjasama dengan pemerintah kota Yogyakarta, komunitas reresik visual dan Pemkot sempat menggelar acara sepeda santai sambil mampir-mapir njabuti sampah visual ilegal yang ada di pohon, tiang listrik, yang didirikan di trotar tanpa ijin ( biasanya rangka bambu lapis print outdoor lalu di tancapkan di tanah). Ini digelar pada bulan Oktober 2012. Deklarasi yang sangat bagus untuk berkomitmen terhadap keistimewaan Jogja dari segi visual. kerjasama antara komunitas kota dan pemerintah. komunitas yang solid ini juga mendeklarasikan diri pada acara Pinasthika di Hotel Melia Purosani Yogyakarta.  



Ternyata setelah saya amat-amati, lulusan Bandung memang lebih berani dan komunal dalam bergerak, beberapa contoh saja.. Bandung sedang membuat semacam Sillicon Valley dengan penanggunjawab proyek rektor ITB, Ridwan Kamil dengan Indonesia berkebun, Pecha Kucha Bandung lebih awal daripada Jogja, dsb. but.. Sebenarnya lulusan Jogja juga punya ciri khas sendiri, yaitu memiliki kepekaan filosofis yang dalam, dan ketajaman nilai budaya, tapi memang tidak bisa dipungkiri, sisi lainnya yang konservatif dan nrimo  membuat Jogja sangat mudah terpengaruh dan tergerus oleh budaya agresif ala barat. Jadi sudah waktunya, orang filsuf Jogja bekerjasama dengan orang berotak dari Bandung. seperti film vampir apa ya.. yang intinya spesies campuran vampir, manusia, dan serigala justru paling hebat.


Jadi, kali ini Sumbo Tibarbuko adalah tokoh kita kali ini. dimana peran UGM dalam kota ini? mudah-mudahan bisa terjawab. Selanjutnya, sepertinya saya ingin sekali melihat kembali kepada sesama almamater UGM dan perannya dalam kemanusiaan dan pengembangan spektakuler dalam bidangnya masing-masing.

Komentar