City Branding sedang ngeTren!


Yip, you heard me, Indonesia sekarang lagi gemar membuat branding untuk kota-kotanya. Tapi kalau dirasakan kadang hanya kulit saja, sementara ketika sampai disana biasa saja. 

Branding kota - menjual potensi, memperkuat karakter vs. karakter kuat - baru membuat brand

Yang pertama perlu melihat potensi untuk dikembangkan untuk memfokuskan diri, lalu bekerja keras membuat konsep tersebut nyata. yang kedua sudah punya ciri yang khas dan kuat, tugas branding hanyalah membantu orang mengingat ciri khas yang melekat di kota itu.





Jogja “Never Ending Asia”

 Tentang Jogja, saya kutip dari beberapa blog lain : Dipilih kata jogja karena menurut hasil survey kata “jogja” lebih mudah diucapkan oleh lidah orang asing yang menjadi target market dari pada “yogya”. Sedangkan typografi dari kata jogja, diambil dari tulisan tangan Sri Sultan Hamengkubuwono X. 
 Dipilih kata Asia bukan Indonesia, karena Indonesia saat itu sedang mendapatkan citra buruk akibat krisis di mata international.Dengan Never Ending Asia,harapannya,Yogya bias mensejajarkan dengan kota atau Negara “club Asia” terdahulu, yakni “Malaysia Truly Asia” dan “Singapore New Asia” waktu itu.
Positioning tersebut didukung oleh diferensiasi kokoh yang ditawarkan kota ini. Jogja sebagai melting pot antar agama besar yang berkembang di Asia,yakni islam,Kristen ,Hindu,dan Budhha. Kedua,Jogja juga sudah dikenal sebagai daerah tujuan wisata di mata internasional, Ketiga, Jogja menjadi pusat perkembangan dari kebudayaan Jawa,sedangkan diferensiasi yang ke empat yang ditawarkan kota ini adalah keramahtamahan penduduk Jogja yang sangat menunjang pariwisata.



So, darimana ide city branding ini? hubungannya dengan pariwisata dan cara menjual produk, yang disini adalah kota atau destinasi wisata. Kalau kebun binatang atau tempat rekreasi si fine, tapi kota.. ada aku, kamu, dan kita dipaksa menjadi obyek tontonan. Ga masalah bagi yang mau, tapi bagi yang tidak? Pariwisata tidak terelakkan membawa tambahan devisa dan penghasilan daerah, namun budayapun dan lifestyle warga aslipun pasti akan berubah dengan kegiatan tersebut. Saya sama sekali tidak menyalahkan pariwisata, toh semakin banyak orang yang mampu traveling, dibranding atau tidak pasti akan terjadi pertemuan budaya.
Tapi yang penting adalah kita punya sikap memilih dan siap dengan pilihan kita. Begitu usaha dilakukan untuk meningkatkan devisa dengan pariwisata, saat itu juga usaha ditingkatkan untuk mempertahankan budaya-budaya yang memang sudah baik, dan menanamkan jati diri pada warga setempat agar tidak tanpa sadar GUMUN dan ikut ingin jadi orang luar di rumah sendiri. Tiap pilihan ada akibatnya, kalau memang pariwisata, mari kita terima tamu dan perkenalkan diri dan saling menghargai, bukan hanya jadi kera yang ditonton aktivitas sehari-harinya. Semoga yang keluar dari otakku tertulis dengan baik dengan scribbling ini.

Komentar