Ini dia tulisan dari sahabat saya dengan pemikirannya tentang negara kesatuan kita. . sedikit, lugas, dan menggugah. Dia ga mau disebut namanya, lets just read. . :D
Awal kemerdekaan, Soekarno mengirim
beberapa putra terbaik untuk belajar di Eropa. Ia ingin menciptakan
teknokrat-teknokrat yang akhirnya akan pulang ke tanah air, untuk membangun
nusantara. Teknokrat yang memiliki wawasan kenusantaraan dan nasionalisme,
tentu saja.
Apa visi Soekarno? Ia sadar bahwa negara
berupa kepulauan, luas, dari Sabang hingga Merauke, dengan lebih dari 17000
pulu-pulau. Ia sadar, agar ada kedaulatan yang utuh dan keadilan sosial yang
merata, ia perlu “jembatan-jembatan” sebagai infrastruktur, mendistribusikan
konsep-konsep ideologi politiknya.
Sejujurnya, saya tak begitu tahu
banyak. Hanya saja, tiba-tiba saya mencoba mengingat apa yang pernah
disampaikan Habibie. Tentang pesawatnya. Dan tentang kenapa ia begitu
menggelora jika membicarakan pesawatnya. Saya hanya mencoba mengingat dan
merepresikan apa yang terjadi, tentang wawasan kenusantaraan.
Habibie adalah salah satu yang dikirim
ke Eropa (Jerman). Ia mendalami aeronautika.
Ia bermimpi pesawat buatannya (buatan Indonesia) adalah yang menguasai
angkasa di nusantara. Bukan burung-burung besi asing yang bukan pada
habitatnya. Lalu, saat telah kembali ke tanah air, ia hidup di rezim yang
sepenuhnya baru. Meski demikian ia mampu menyelesaikan pesawatnya walau pun
akhirnya, hingga saat ini, tetap tak banyak yang memakainya di nusantara.
Kebanyakan lebih memilih buatan asing yang “lebih murah”. Habibie kecewa.
Rupanya buah pikiran Habibie, yang
merupakan kepanjangan tangan dari Soekarno, tak mampu dibaca oleh penguasa
baru. Pesawat Habibie adalah salah satu tool
yang mestinya di kembangkan sebagai “jembatan” penghubung ideologi bangsa. Jika
saat itu dikembangkan secara masal,tak perlu lagi tergantung pesawat Amerika,
Perancis atau bahkan China. Nusantara akan lebih mudah dijangkau dari Sabang
sampai Merauke. Tak perlu liburan ke Singapura atau Australia (yang
kenyataannya lebih aksesibel daripada beberapa daerah di Negara kita sendiri).
Keadilan sosial pun akan merata. Namun, seperti kebanyakan pergantian penguasa,
maka berganti pula misi dan visi yang diusung. Tak peduli lagi baik dan buruk.
Yang penting beda. Tidak sustainable.
Tanggal 17 Agustus memang telah lewat.
Tapi saya tiba-tiba jadi teringat, pada tanggal ini justru banyak muncul
ungkapan skeptis (bahkan di media)*
tentang republik ini. Hampir tiap tahun, kekecewaan yang berulang-ulang
seperti : ”Indonesia merdeka tapi rakyat masih sengsara”, “ kita belum merdeka,
baru di pintu gerbang-nya”,” tidak seperti dulu” …
Padahal mungkin kondisi dulu dan
sekarang sepenuhnya berbeda, tak bisakah kita hidup tanpa bayang-bayang masa
lalu. Lupakan,lanjutkan yang memang baik, tetap obyektif dan fokus pada tujuan
di depan.
Komentar
Posting Komentar